Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930. kumpulan cerpen pertama
adalah ”Teman duduk” karya M. Kasim (1936). Cerpen kemudian dikembangkan oleh
pengarang Pujangga Baru,
seperti Armin Pane dan Hamka. Selanjutnya cerpen berkembang dengan pesat.
Bahkan kini merupakan bentuk prosa yang dominan karena mudah disampaikan
melalui surat kabar, majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal sebagai Bapak
Cerpen dan Novelis Indonesia. Novel pertamanya adalah Kasih TakTerlerai (1929).
UNSUR-UNSUR CERPEN
UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN
Penokohan
Tokohmerupakan individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang
diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16).Tokoh
merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra
yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti
Sudjiman (1966:25).
Penokohandalam cerita rekaan dapat
diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara
penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang
dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa,
sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang
berbentuk datar dan tokoh yang
berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah
tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai
dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang
memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan
peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya
sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh
psikologis. Dengan demikian, tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak
banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis,
karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah
tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis
(Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan
cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung
memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala,
penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya
tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan
nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog
(Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau
memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan
tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat
perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai
dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan
mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan
karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung,
melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui
tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui
kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu
pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian
tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut
didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau
setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian
(Atar Semi, 1988:37-38).
Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh
cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan
hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam karyanya
adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur
cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam
angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh
cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pada
pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat si
tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya,
pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan
keadaan tokoh cerita.
Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku
tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui
tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual,
watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk
mengacu kepada tokoh.
Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita
(Aminuddin, 1987:83).Alur atau
plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa
tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster, 1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang
amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu
sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain,
bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat
dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang
telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal
dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu
sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk
mendekatkan pada masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal
yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu:
●Situation (situasi), yakni pengarang mulai
melukiskan suatu keadaan,
●generating
circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut,
●ricing
action, keadaan mulai memuncak,
●klimaks,
yaitu peristiwa mencapai puncak,
dan
●document,
yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara
berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan
apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur
balik (regresif). Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang
disebut alur gabungan.Dalam
alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik.
Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu,
sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang
terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29).Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur
rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga
tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh
lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan
cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai
keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk
menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan
alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga
pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa
pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa
terbius untuk membacanya sampai tuntas.Dikatakan
alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita
secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap
tidak penting.
Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar
adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun
peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut
Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi
bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam
lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan
dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam
menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat
dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara
rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar
sebagai berikut:
1)Latar
yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas
serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap
tokoh dan gerak serta tindakannya.
2)Latar
suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan
dan arti umum dari suatu cerita.
3)Latar
mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang
bermanfaat dan berguna.
Selain
menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar
juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat
mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat
akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan
adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang
dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya
disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin,
1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang
menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat
pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau
darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan
menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah
sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan
melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah
merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik
kisah menjadi empat jenis yang meliputi:
●pengarang
sebagai tokoh,
●pengarang
sebagai tokoh sampingan,
●pengarang
sebagai orang ketiga,
●pengarang
sebagai pemain dan narrator.
Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa
yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian
tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam
memandang tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh
Karena itu, unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna
apabila disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra
adalah bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua
sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena
pengertian gaya umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan
cerita agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan
kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena
cerita pada dasarnya bermediakan bahasa.
Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu
pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah
wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112). Pengembangan bahasa melalui sastra
dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang
pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan
pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke
dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh
sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain
dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda
dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat
mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu
pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu
berasal dari batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh
seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan
karakteristik pengarang tersebut.Sedangkan
Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan
penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari
cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman,
bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang
istimewa.
Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian
dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling
mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang.
Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (1)
gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan
penguatan.
Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk
menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian
gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu
metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi
pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang
lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu
sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada
tokoh atau penokohannya.Oleh
karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan
bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan
paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks
berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi
suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya
merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan
masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan
yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar,
dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema
bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang
inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada
keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang
dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi
(Scharbach, 1963:273).Aminuddin
(1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
●Memahami
setting dalam prosa fiksi yang dibaca.
●Memahami
penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
●Memahami
satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang
dibaca.
●Memahami
plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
●Menghubungkan
pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari
satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
●Menentukan
sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
●Mengidentifikasikan
tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran
serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.
●Menafsirkan
tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang
diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan. Selain upaya pemahaman
tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau paresiator
perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat
prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah
kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam
hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya.
UNSUR EKSTRINSIK CERPEN
Nilai-nilai yang terkadung dalam Cerpen
Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis menuangkan
idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan kepada pembacanya,
misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain kedua nilai itu, masih banyak
nilai lain di masyarakat.
Nilai moral (nilai etik) adalah nilai
untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan
dengan akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh
golongan atau masyarakat.
Nilai keagamaan adalah
konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat pada
beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga
menjadikan pedoman bagi tingkah laku warga masyarakat bersangkutan. pandangan
pengarang itu diakui sebagai nilai-nilai kebenaran olehnya dan ingin disampaikan
kepada pembaca melalui karya sastra.
Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral itu bersumber dari nilai
keagamaan. Seseorang bisa dikatakan orang bermoral, karena orang itu beragama.
Moral lebih dekat hubungannya antara manusia dengan manusia, sedangkan agama
hubungannya antara manusia dengan Tuhan.
Menyadur cerpen menjadi drama
Menyadur
adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita
(KBBI, 2001: 976). Cerpen terdiri atas paragraf-paragraf, sedangkan drama
terdiri atas adegan-adegan dan dialog.
Langkah-langkah
menyadur drama adalah:
●Membaca
cerpen tersebut dengan teliti.
●Mengenali
unsur-unsur cerpen, kemudian mencatat unsur-unsur tersebut.
●Menyempurnakan
catatan dari awal sampai akhir.
Menyadur
cerpen dapat dilakukan juga dengan cara memperluas unsur intrinsik dan
unsur-unsur lain yang mendukung cerpen misalnya:
●menambah
tokoh.
●mengembangkan
penokohan.
●menghidupkan
konflik.
●menghadirkan
latar yang mendukung
●memunculkan
penampilan (performance)
Sebelum
Anda menyadur cerpen menjadi drama pahamilahbagian-bagian
drama berikut ini:
●pengenalan.
●pemunculan
peristiwa atau masalah.
●situasi
menjadi rumit atau masalah menjadi kompleks.
0 Komentar