Kumpulan Puisi Terbaik Para Penyair Indonesia

 


HUJAN BULAN JUNI

Sapardi Djoko Damono


tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu



PADA SUATU HARI NANTI

Sapardi Djoko Damono


pada suatu hari nanti

jasadku tak akan ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti

suaraku tak terdengar lagi

tapi di antara larik-larik sajak ini

kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti

impianku pun tak dikenal lagi

namun di sela-sela huruf sajak ini

kau tak akan letih-letihnya kucari



METAMORFOSIS

Sapardi Djoko Damono


ada yang sedang menanggalkan

kata-kata yang satu demi satu

mendudukkanmu di depan cermin

dan membuatmu bertanya

tubuh siapakah gerangan

yang kukenakan ini

ada yang sedang diam-diam

menulis riwayat hidupmu

menimbang-nimbang hari lahirmu

mereka-reka sebab-sebab kematianmu

ada yang sedang diam-diam

berubah menjadi dirimu



SIHIR HUJAN

Sapardi Djoko Damono


Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan -- swaranya bisa

dibeda-bedakan;

kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.

Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon,

jalan, dan selokan

- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu

menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan



YANG FANA ADALAH WAKTU

Sapardi Djoko Damono


Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"

tanyamu.

Kita abadi.



AKU INGIN

Sapardi Djoko Damono


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



AKU

Chairil Anwar


Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang 'kan merayu

Yidak juga kau

Tak perlu sedu-sedan itu

Aku ini binatang jalan

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi



KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG

Emha Ainun Naijb


Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan

di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia

Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan

diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,

yang teramat menyakitkan ini, denganmu

Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah

persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu

Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika

mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari

mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,

kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku

Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,

kupeluk,

kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan

lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah

batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,

kusumpal,

kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,

kusayang-sayang.



TAHAJJUD CINTAKU

Emha Ainun Najib


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan

Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya

Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita

Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka

Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran

Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan

Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta

Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya



SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

Emha Ainun Najib


Satu

Masjid itu dua macamnya

Satu ruh, lainnya badan

Satu di atas tanah berdiri

Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa

Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu

Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu

Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua

Masjid selalu dua macamnya

Satu terbuat dari bata dan logam

Lainnya tak terperi

Karena sejati

Tiga

Masjid batu bata

Berdiri di mana-mana

Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya

Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita

Di dalam jiwa, di pusat sukma

Membisikkannama Allah ta'ala

Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata

Kita melangkah, kemudian bersujud

Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa

Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat

Sangat mahal biaya masjid badan

Padahal temboknya berlumut karena hujan

Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban

Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa

Matahari mengelupas warnanya

Ketika datang badai, beterbangan gentingnya

Oleh gempa ambruk dindingnya

Masjid ruh mengabadi

Pisau tak sanggup menikamnya

Senapan tak bisa membidiknya

Politik tak mampu memenjarakannya

Lima

Masjid ruh kita baw ke mana-mana

Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya

Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota

Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya

Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala

Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya

Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh

Tak kuasa para musuh melihat kita

Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya

Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam

Masjid itu dua macamnya

Masjid badan berdiri kaku

Tak bisa digenggam

Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita

Melampaui ujung waktu nun di sana

Terbang melintasi seribu alam seribu semesta

Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh

Masjid itu dua macamnya

Orang yang hanya punya masjid pertama

Segera mati sebelum membusuk dagingnya

Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua

Berkeliaran sebagai ruh gentayangan

Tidak memiliki tanah pijakan

Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada

Dua masjid menjadi satu jumlahnya

Syariat dan hakikat

Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan

Bahkan seribu masjid, sjuta masjid

Niscaya hanya satu belaka jumlahnya

Sebab tujuh samudera gerakan sejarah

Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah

Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah

Itu sekedar pertengkaran suami istri

Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga

Kelompok satu mengafirkan lainnya

Itu namanya belajar mendewasakan khilafah

Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan

Seribu masjid dibangun

Seribu lainnya didirikan

Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun

Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan

Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan

Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah

Bergetar menyatu sejumlah Allah

Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan

Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah

Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah

Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah

Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!



BEGITU ENGKAU BERSUJUD

Emha Ainun Najib


Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang

yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid

Setiap kali engkau bersujud, setiap kali

pula telah engkau dirikan masjid

Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid

telah kau bengun selama hidupmu?

Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu

meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika

bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud

Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada

ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan

Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan

ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang

Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk

cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid

Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang

Allah, engkaulah kiblat

Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang

didengar Allah, engkaulah tilawah suci

Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai

Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,

karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi

dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud

menjadilah engkau masjid



DAUN MENANGIS

Rukmi Wisnu Wardani


Sehelai arti hidup melepaskan sayapnya

Terlepas …

Melayang tertiup angin

Berputar menari …

Kadang berlari

Terjang landas

Bentur 'kan tanah di sisi kaki berpijak

Susut diri tenggelam dalam arus

Terbawa petualang,

Arungi bebatuan rawa

Lelah sang helai …

Manja' kan diri

Tertidur sejenak

Tak usai manja berpaling

Tiupan arti hidup mengembara lagi

Sampai kapan ?

Tak' seorang pun yang tahu…

Hanya " ia "………



KATA

Subagyo Sastrowardoyo


Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku

bersembunyi di belakang kata

Dan menenggelamkan

diri tanpa sisa


TAPI

Sutardji Calzoum Bachri


aku bawakan bunga padamu

                                tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu

                                tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

                                tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

                                tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

                                tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

                                tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

                                tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

                                wah !



SERATUS JUTA

Taufik Ismail


Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini

Seratus juta banyaknya

Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa

Kini kutundukkan kepala, karena

Ada sesuatu besar luar biasa

Hilang terasa dari rongga dada

Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja

berdiri hari ini

Seratus juta banyaknya

Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.



MENCARI SEBUAH MESJID

Taufiq Ismail


Aku diberitahu tentang sebuah masjid

yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan

fondasinya batu karang dan pualam pilihan

atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan

dan kubahnya tembus pandang, berkilauan

digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan

dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran

dengan warna platina dan keemasan

berbentuk daun-daunan sangat beraturan

serta sarang lebah demikian geometriknya

ranting dan tunas jalin berjalin

bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya

menyentuh lapisan ozon

dan menyeru azan tak habis-habisnya

membuat lingkaran mengikat pinggang dunia

kemudian nadanya yang lepas-lepas

disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas

yang memperindah ratusan juta sajadah

di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana

bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya

engkau berjalan sampai waktu asar

tak bisa kau capai saf pertama

sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu

bershalatlah di mana saja

di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya

yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya

dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya

di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian

yang menyimpan cahaya matahari

kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan

ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna

di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta

terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya

tempat orang-orang bersila bersama

dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka

dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian

dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan

dalam simpul persaudaraan yang sejati

dalam hangat sajadah yang itu juga

terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu

Mengembara mencarinya

Di manakah dia gerangan letaknya ?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari

ketika di puncak tergelincir dia sempat

lewat seperempat kuadran turun ke barat

dan terdengar merdunya azan di pegunungan

dan aku pun melayangkan pandangan

mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan

ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan

dia berkata :

"Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan"

dia menunjuk ke tanah ladang itu

dan di atas lahan pertanian dia bentangkan

secarik tikar pandan

kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran

airnya bening dan dingin mengalir beraturan

tanpa kata dia berwudhu duluan

aku pun di bawah air itu menampungkan tangan

ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan

hangat air terasa, bukan dingin kiranya

demikianlah air pancuran

bercampur dengan air mataku

yang bercucuran.



SAJAK SEONGGOK JAGUNG

W.S. Rendra


Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda

yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,

sang pemuda melihat ladang;

ia melihat petani;

ia melihat panen;

dan suatu hari subuh,

para wanita dengan gendongan

pergi ke pasar ………..

Dan ia juga melihat

suatu pagi hari

di dekat sumur

gadis-gadis bercanda

sambil menumbuk jagung

menjadi maisena.

Sedang di dalam dapur

tungku-tungku menyala.

Di dalam udara murni

tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda.

Ia siap menggarap jagung

Ia melihat kemungkinan

otak dan tangan

siap bekerja

Tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda tamat SLA

Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.

Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu

dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .

Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.

Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.

Ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.

Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.

Seonggok jagung di kamar

tidak menyangkut pada akal,

tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar

tak akan menolong seorang pemuda

yang pandangan hidupnya berasal dari buku,

dan tidak dari kehidupan.

Yang tidak terlatih dalam metode,

dan hanya penuh hafalan kesimpulan,

yang hanya terlatih sebagai pemakai,

tetapi kurang latihan bebas berkarya.

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

di tengah kenyataan persoalannya ?

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang

menjadi layang-layang di ibukota

kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang

belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,

atau apa saja,

bila pada akhirnya,

ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :

“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”



SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI

W.S. Rendra


Dengan latar belakang gubug-gubug karton,

aku terkenang akan wajahmu.

Di atas debu kemiskinan,

aku berdiri menghadapmu.

Usaplah wajahku, Widuri.

Mimpi remajaku gugur

di atas padang pengangguran.

Ciliwung keruh,

wajah-wajah nelayan keruh,

lalu muncullah rambutmu yang berkibaran

Kemiskinan dan kelaparan,

membangkitkan keangkuhanku.

Wajah indah dan rambutmu

menjadi pelangi di cakrawalaku



DOA

Amir Hamzah


Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,

setelah menghalaukan panas payah

terik.

Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung

rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang

lilinnya.

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam

menyiarkan kelopak.

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku

dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar

gelakku rayu!



HANYA SATU

Amir Hamzah


Timbul niat dalam kalbumu.

Terbang hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkar pokok purba

Terika riuh redam terbelam

Dalam gagap gempita guruh

Kilau kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik Jung bertudung

Tempat berteduh nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

Bersemayam sempana di jemala gembala

Juriat julita bapaku iberahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

Kini kami bertikai pangkai

Di antara dua, mana mutiara

Jauhari ahli lalai menilai

Lengah langsung melewat abad

Aduh kekasihku

padaku semua tiada berguna

Hanya satu kutunggu hasrat

Merasa dikau dekat rapat

Serpa musa di puncak tursina.



BERDIRI AKU

Amir Hamzah


Berdiri aku di senja senyap

Camar melayang menepis buih

Melayah bakau mengurai puncak

Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyeduk bumi

Menepuk teluk mengempas emas

Lari ke gunung memuncak sunyi

Berayun-ayun di atas alas.

Benang raja mencelup ujung

Naik marak mengerak corak

Elang leka sayap tergulung

dimabuk wama berarak-arak.

Dalam rupa maha sempuma

Rindu-sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa sentosa

Menyecap hidup bertentu tuju.


 

PADAMU JUA

Amir Hamzah


Habis kikis

Segera cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu - bukan giliranku

Matahari - bukan kawanku.



SEHABIS TIDUR

Joko Pinurbo


Sehabis tidur lahan tubuh kita terus berkurang.

Kita belum sempat bikin rumah atau tempat perlindungan,

diam-diam sudah banyak yang merambah masuk, bermukim

di jalur-jalur darah

di kapling-kapling daging

di bukit-bukit sakit

di ceruk-ceruk kenangan

di kuburan-kuburan mimpi

di jurang-jurang ingatan

di gua-gua kata

di sumber-sumber igauan

Berdesakan, berebut ruang, sampai kita kehabisan tempat,

sampai harus mengungsi ke luar badan



HUH

Zainuddin Tamir Koto


kucoba mengintip kelam

dari cahaya lilin

sia sia

petir tunggal menggelepar

aku bagai debu

menerawang angkasa

sejuta mata menatap kepadaku

yang bersembunyi

di belakang cahaya lilin

kucoba lagi mengintip kelam

rembulan menyilau mataku

angin pun rebah

dan desauan daun daun

jadi diam

ditelan kelam



SAJAK-SAJAK M. FADJROEL RACHMAN

Puisi: M. Fadjroel Rachman


Tolstoy Memenggal Napoleon


angin dingin menginjak wajah perunggu berlin timur, kaki

bernanah limbung tertatihtatih

aku hanya ingin istirah,mengenang masa lampau sirna & kertap

nyawa ketam liar terakhir

badai berkeliaran di panggung mimpi, mengisap ludah katakata,

selusin ayatayat feurbach

sepanjang sungai spree, angsa putih menjilati hujan beku &

ranum bunga violet kesepian

gemuruh ringkik-dengus kudakuda sejarah menyeret tolstoy

memenggal kepala napoleon

detik berbisik, "bukan napoleon, bukan robespiere,sejarah

merambat seperti rumput liar."

lenin mengeluh, kepala trotsky rekah cemerlang, letusan bunga

darah menyembur mexico

mayatmayat siapa menghitamungu bersimpuh di kakikaki

perunggu tuan marx & engels?

seekor gagak bertengger di kepala marx, melepas kotoran hitam

tepat di hidung mancung

hantuhantu malam menyusup digelap sejarah,melingkar sungai

membelah postdam/berlin

hujan tadi malam membersihkan debu menggumpal di bahu marx,

di kumis kelabu engels

aku menusuk mata beku kedua tuan penentang sejarah,

menyelipkan airmata berlin timur

bilahbilah perunggu menentang panas terik & salju dingin,

membius hentakan sepatu lars

pengkhotbah muda berkeliaran di jembatan kokoh mengutuki dosa

iblis dadudadu sejarah

marx membanting manifesto komunis, menulis pesanan, "tak ada

menu revolusi pagi ini!"

sebotol bir,sebotol bir tumpahkan ke muka kusut pelayan mengisi

aorta darah raja prussia

di tepi jalan pohon riuh mendengkur,membekuk badai tersesat

menyamun kunangkunang

trem terjungkal ke sungai beku, sejoli gagak limbung menyeret

jejak kaki perak purnama

selamat malam, selamat malam, meringkuklah bagai bayi di

buaian penista gerhana bulan

kenangan masih basah di pantai, kepiting laut menghitung

sisasisa rindu & tangisan senja

berlin, 2006

2 Puntung Rokok di Sukamiskin

: ya, aku mendengar tawa renyah di kamar isolasi, "engkau

memanggilmanggil namaku?"

angin berputaran bagai gasing disihir hantuhantu musim hujan,

kucaricari engkau tak ada

4 pintu coklat termangu, gembok kuningan merangka batu,

menyiksa sukma siang/malam

"lama tak bertemu, tuan kemana saja?"16 tahun lalu labalaba

menggigiti tirai jeruji hujan

bungabunga bermekaran menguliti besi,lumut & tembok

sel,menjilat dosadosa dunia fana

burung gereja sembahyang di kubah mesjid, tawanan seringai

azan, torehan lambung luka

"sungguhkah kita bersua di akhirat?" memanggul siksa dunia di

punggung berderakderak

purnama pucat mengusapkan wajah pada jejak telapak kaki,

menggarami mimpimimpimu

"tak mudah bukan melupakan masalalu?" cairan baja tercetak rapi

di pengap batok kepala

wajahwajah kosong melekat di dinding dosa yang luruh

bergelimpangan di rumah tuhan

kamarkamar kosong memanggilmanggil, merindu ciuman semesta

purba ke bibir pantai

harum kenanga membelit kawat berduri, mengemis langit

menyepak leleh gerimis perih

seribu jendela terbuka ke padang kering tak bertuan, hanya kabut

beku di ujung rumputan

kubah mesjid, menara gereja, menusuki langit yang sama dalam

siksaan membeku waktu

10 mata liar menikam harum tubuh perempuan muda, gairah dosa

terlukis di langit suram

"kami cemas," burung gereja menyisir lepuh,"ketakutan malam

membakar planetplanet"

2 puntung rokok, tumpahan ampas kopi di lantai sel,mengiring

lambaian perih perpisahan

telapak kaki menyalanyala menggigit pijar magma, bertasbih

cemas menderas arus waktu

keranda malam melarung takdir ke bintangbintang, merayap di

sungai kering planetplanet

: ya, aku mendengar tawa renyah di kamar isolasi,"engkau

memanggilmanggil namaku?"



Kabut Tangkuban Parahu


jarum tajam cemara menusuk telapak cinta gemetar dan

berapiapi, demam menggelepar

masih hangat janji disekap kabut, ditidurkan rawarawa dibuaian

batuk tangkuban parahu

debu batu apung melesak tenggorokan, mendidihkan asap

belerang goagoa kebosananmu

aku menunggumu 182 ribu tahun, disiram hujan kenangan

berselimut racun asap belerang

aku berbisik menyebut nama sirna di kawahkawah beracun,

tebing berasap tak menyahut

kudengar macan tutul meraung, kijang menguik,membisikkan

kehilanganmu beribu tahun

bayangbayang gelap daun manarasa, menyembunyikan rahasia

langit menista adam-hawa

aku tahu kegelisahan bersemayam di kawahkawah beracun,

berselimut jilatan api magma

racun asap kawah menyambar tawa tergelak, sekeping tawa

berlari tersipusipu bunuh diri

"masihkah engkau mengenalku?"sembur awan panas telanjang

menyirami tebing tandus

"aku tersesat?" berjuta jalan bercabang disiram racun asam tak

lagi berujung ke afrika tua

aku menyeru, tapi engkau meronta menyelusup cemas di ribuan

bangkai belalang & kupu

aku menunggumu setua gunung sunda purba, menyimpan

kerinduan pertama adam-hawa

kabut terpendam, kudengar derai tawamu tersekap, berdesing

menyusupi poripori gunung

retakan aspal jalanan merahasiakan telapak luka, kembang

bakung menyihir kesedihanmu

aku masih mengenali airmata gelisah yang menari di kornea

hitam,seringan serpihan salju

aku menunggumu 182 ribu tahun di tebing asap tangkuban

parahu, bertasbih ledakan lava

cinta yang gemetar merangkai ledakan suar api kehilangan ke

daundaun luruh membusuk

kawahkawah tak bernama mengenali kesepian, mendidihkan

cerobong awanawan hitam

"bila engkau kembali, apakah merindu seperti ledakan magma

melesak dari perut bumi?"


 

HIKAYAT BURUH

Puisi: Husnul Kuluqi


Hikayat Buruh Perempuan dan Kompor yang Padam


perempuan itu membisu di sudut dapur

malam belum benar-benar beranjak. Masih

ada sisa gelap, serupa kabut hitam tipis

terlihat jelas dari lubang angin yang telah

keropos. di langit, bintang-bintang merapuh

menjelang subuh. sesabit bulan pun pucat

berayun, timbul tenggelam di antara

gugusan awan

"kompor padam, api tak menyala lagi," perempuan

itu bergumam sendiri dalam dingin dan ngilu pagi

di rak kayu yang warnanya telah pudar piring

piring tertelungkup, lama tak terisi. gelas-gelas

menunduk, tak lagi menampung susu si kecil. di dapur

yang sempit, perempuan itu menghitung hari-hari

bersama perih dan nyeri yang datang

bertubi-tubi

"hari ini tak ada yang bisa ibu masak untukmu, nak.

minyak tanah mahal, harga kebutuhan pokok melonjak

di luar hitungan. ibumu hanya buruh, bapakmu sudah lama

di-phk. engkau akan tumbuh sebagai generasi

yang tak berdaya, kekurangan gizi dan kehilangan

masa depan," perempuan itu tersedu sendiri

di gulung hari-hari yang terasa berat

dan melelahkan

ketika pagi datang dengan wajah pasi, malam

benar-benar beranjak pergi. perempuan itu masih

saja di dapur memandang kompor yang tak

kunjung menyala. dan dadanya semakin gemetar

setiap kali mendengar tangis anak-anaknya

yang harus menahan lapar

2005


 

Tembang Pesisir


istriku, mendekatlah. mari bernyanyi

merayakan kemiskinan ini. sebentar lagi

mungkin kita akan mati. musim-musim

tak pernah bersahabat dengan kita

dan setiap waktu, kita mesti menghitung

kelu. tanpa jemu

lihatlah laut biru yang terbentang, ikan-ikan

yang berenang. kita tak lagi bisa menangkapnya

sebab perahu kita tertambat di dermaga

hanya jadi mainan anak-anak ombak. tak bisa

melancar, tak bisa bergerak

tanpa bahan bakar

duhai, nasib kita istriku. serupa

butir-butir pasir sepanjang pesisir, harus

selalu menghadapi amuk gelombang yang datang

sementara dari selat dan tanjung

maut tak berhenti mengintip

siap mendekat

istriku, mendekatlah. mari bernyanyi

sebelum maut menjemput. membenamkan

jasad kita yang malang

pada hitam tanah

dan bebatuan

2005


 

INTEROGASI CERMIN SLAMET RAHARDJO RAIS

Puisi: Slamet Rahardjo Rais


Salam Matahari


matahari senantiasa mengirimkan kesetiaan

salamnya. sujudku hujan menjelang senja

sebagaimana harapan ladang-ladang

dan aroma tanah yang menunduk

walau dalam kantuk. baca dan simpan


semua yang lewat mengajariku

untuk memasuki tasbih mata langit

dzikir kota-kota yang mencemaskan kegelisahan

(anak-anak melesat terjebak pusaran

Pintu jendela rumah terasa belukar ilalang)


mengajariku agar burung mawarku terbang

berjabat tangan

ke tiang-tiang pasar

kereta api dan bis kota

tempat berjejal pikiran purba


sedemikian perkasa kekuatan membuat keutamaan

membunuh tumpukkan keputus-asaan

(mengunyah sujud lembah-lembah

Terowongan memanggil dalam wujud terang)


meminta ruh peristiwa

segera belajar terhadapnya

ketika berenang merebut kabut

membuat hujan

air meluas sebagai persajakan putih

menghalau belukar liar tumbuh di dalam dada


Interogasi Cermin


sejumlah interogasi terpahat di dinding

cermin memantulkan sejumlah wirid doa

menyelesaikan jarak

seorang pemburu melacak

suara yang lapar terjabak


tetapi yang terdengar petikan rebana

sebagai suara ayat-ayat kitab

dibacakan mengenang nasib tergeletak


tak mungkin tanpa menyebut

sejumlah luka

ombak mengusung kehendak

debar mengusung kerikil dan batu

menjadi onggokan tugu kota

megah sebagai saksi sejarah


kecemasan memang menggigilkan

nama senyap merekan suara. diam-diam

seekor cicak menggoyangkan isyarat purba


menyerahkan seikat bayang kemasgulan

memadati permukaan cermin. ruang

tempat terbaringnya waktu



Secangkir Kopi Pagi


secangkir kopi pagi sangat dirindu-rindukan

tempat persinggahan renungan

aromanya yang wangi menangkap

helai-helai daun mengering di udara

mengisi permukaan ruang

menjelma menjadi serdadu perang


membaca luas titik bidang

di atas meja

"sumur waktu" sepotong bisik

sambil menyerahkan daftar tutur kata


biarkan kekalahan menghitung kegagalannya

ketika seseorang bersimpuh

di tengah vas bunga raksasa

dengan menunjukkan beberapa luka tangan

"Luka segera mengering saudara,

setiakan memakmurkan tempat sujud kita!"



Ketika Senja


tanpa rintik rembulan pun bergegas

mabuk suara

anggur senja sudah disedia


erat gelas yang ditawarkan. aku mengambilnya

dan di pundak jendela sebuah agenda

gelas-gelas bergetar


suara yang mengaruskannya

terdapat gelas dalam kabut rembulan

setengah memucat mencatat waktu

memberi angin terhadap detak sayap

mempersiapkan tamasya kenikmatan


suara adzan menawarkan kendaraan

memasuki lorong paling sunyi dan gaduh

"Subhanallah. Alif Laam Miim!"



Gerimis Mayat


cakrawala melumat dirinya menjadi mayat

mengintai dan memucat

menjadi segerombolan ulat membelanjakan

mimpi-mimpi memakmurkan luas negeri

dalam gerimis hutan gemuruh kota

spanduk meminjam pesta rakyat

ketika memanjati menara dalam sebuah jubah


daun-daun peradaban menerima kabut

di dalamnya halte-halte

ruang tunggu yang menyerah

sebagai kalimat harap letih kecemasan


 

SAJAK-SAJAK TAUFIK IKRAM JAMIL

Puisi: Taufik Ikram Jamil


Jarak


berpotong-potong alamat yang kautinggalkan

hanya menyodorkan perih di dalam mimpiku

e-mail yang gemetar di telapak tangan

nomor telepon bertangkap pasi di muka

juga pos rumahmu yang tersandar lelah

tak sejari pun mendekatkan aku padamu


kakimu di amerika

tapi langkahmu ke belanda

saat rambutmu di inggeris

tapi hitam panjangnya di cina memalis

engkau menangis di pahang

tetapi air matamu jatuh di riau membahang

hatimu terpunggah dekat saudi arabia

tetapi cintamu mewabah ke mana-mana


barangkali aku yang tak bisa membaca tanda

memahami simbol selalu dengan hati kanan

mungkin juga aku yang terlalu loba

mengharapkan bayang-bayang

yang jauh lebih tinggi dari tubuhku sendiri


tak mustahil engkau yang selalu pelupa

memaknai kata dengan cuma

mungkin pula terlalu percaya dikau

kepada setiap tiba akan merasakan sampai

mengampungkan kota dalam rahasia capai


wahai engkau yang terang tak membagi cahaya

wahai engkau yang pelangi tak menyisakan warna

wahai engkau yang elok tak melemparkan paras

wahai engkau yang diam tak memendam sunyi

lihat aku yang terpampang

mengirimkan diriku

yang babak-belur dilindas zaman



Menikah


telah kunikahi dikau

dengan jarak sebagai maskawin

walimu adalah dekat tidak tergapai

sedangkan saksinya jauh tiada berjarak

melingkarkan cicin di jarimu berwaktu


di depan tuan kadi dari negeri perih

memang tak dapat kuucapkan kesetiaan

sebab aku penjaja kasih

mengetuk pintu bagi pemilik hati

setiap yang memberikan cinta kepadaku

aku ulurkan seribu sayang baginya


maka kita nikmati hari-hari jauhari

di setiap detik yang mengantarkan menit

hingga kita lupa bagaimana cara rahasia

menyembunyikan suka citanya pada jam

kita tiba-tiba menjadi serba tidak terduga

dengan wajah terdedah pada setiap sejarah


pada malam pertama kita tak bersua

karena kita hanya menuju pengakhiran

berujung cita-cita menjadi diri sendiri

dan setiap orang yang mengenal kita

mereka akan mengetahui diri mereka

penuh jelaga dan berdosa


kita akan hidup dari kecemerlangan lidah

hingga setiap benda mencari tinta

untuk merekam patah-patahan ucapan

yang tak sengaja kita sisakan pada alam

kepada masa tanpa tenggat


anak-anak kita akan tumbuh

dalam perjanjian sagu yang menjulang

setiap akarnya akan mekar menyembur nafas

yang bila terbunuh pun

tidak akan rebah ke bumi

tetapi mencari langit dengan pintu membuka

buah tematu dan pelepah

pati dan repu yang menobat berkah


seperti diriku

aku sadar bahwa engkau tidak bahagia

tapi jodoh tak pernah mendustai perkawinan

kita pada posisi yang hanya bisa menerima

kemudian belajar sedikit berharap

agar kecewa tidak banyak tertangkap



Datang pada Setiap


aku datang pada setiap bimbang

hinggap pada rupa-rupa terbang

kepakku melantunkan lagu-lagu bungsu

suka cita pelaut yang menemukan jejak


tapi lonte dengan mata penuh dendang

memandang paruhku kasihan

menyimpan penatku dalam kutang

kemudian mengirimkannya ke dahaga malam:

bukan kepadaku engkau berkelam


di meja judi aku pun tersadai

tapi daun pakau tak pernah menepati janji

duduk memandangku penuh uji

dengan kelepak di tangan yang membenci

jari-jemarinya meluncurkan dengki

aku dibantai dalam singai:

jangan kepadaku engkau berandai-andai


wisky dan sampanye terbekah-bekah

memapah tubuhku dengan senyum buih

berselingkuh dengan janji-janji putih

kacang dan kentang telanjang

dalam botol ingin berkencan

sekejap alkohol berkelabat

memandang mataku penuh siasat:

jangan pulang setelah sesat


aku muntah dalam pizza

spagheti melilitku dengan percuma

piring-piring yang telah membuka aurat

dengan rock penghantar syahwat

ekstasi berbuntil nikmat

air mineral terperanjat

kepadaku peluk diperketat:

sungguh engkau tak akan berkhianat


aku ketawa pada setiap lampu

pada jalan-jalan yang ditinggalkan arah

meloncat dari kabut ke kabut

duduk di atas bintang bertemankan bulan

kemudian dengan jaket hitam

menggoda dinihari yang tak lagi perawan

tapi embun dengan kekuatan sepi

menolakku ke pinggir hari:

jahanamlah kau yang tak mengenal diri


lalu malam pun bersurai

dengan azam menjunjung setia

syafak membentangkan tangan

bagaikan mengempang semua rasa

aku entah di mana



SAJAK-SAJAK ZEFFRY J ALKATIRI

Puisi: Zeffry J Alkatiri


SUDAH SEJAK LAMA MEREKA KALAH


Pada saat anak-anak Yahudi

berebut masuk Yale, Berkley, dan MIT,

anak-anak Syek dan Emir Kuwait, Oman, Bahrain,

dan Arab Saudi berebut masuk hotel di London,

New York, Paris, Pattaya, dan Jakarta.

Sementara anak muda Yahudi sibuk main saham di WTC,

anak-anak Syekh dan Emir itu menghabiskan duit

Moyangnya di meja judi.

Sementara para istri diplomat Yahudi ikut bekerja,

para istri Syekh itu rajin berbelanja.

Sementara pengusaha Yahudi kasak-kusuk melobi,

para Syekh dan Emir itu asyik berendam di bak mandi.

Sementara masyarakat Yahudi rajin mengumpulkan dana,

para Syekh dan Emir itu berpesta dengan para harimnya.

Sementara orang Yahudi berjuang meluaskan wilayah

di jalur Gaza, para Syekh dan Emir itu

membuka pintu bagi Cowboy Amerika.

Jelas, sudah lama mereka kalah.

Saat wilayahnya belum ditemukan minyak mentah,

predator Anglo-Saxon sudah menguasai Timur Tengah.

Apa mereka menyangka sudah bebas dan kaya?

Padahal, sampai sekarang nasib mereka

tidak pernah berubah

Tetap dijajah oleh para Baron perambah

yang sejak dulu sampai sekarang

pun selalu hadir

dan pelan-pelan menjerat leher kita.

Maret 2003-2004



ISA HADIR


Agustinus mendengar cerita tentang dia.

Akan kuhentikan waktu! Katanya.

Tiga jurus kemudian, tiga kepala ahli nujum terpenggal,

Karena tak mampu menunjukkan arah bintang kejora di timur.

Beribu malam telah dilalui. Beribu mimpi telah dicerna.

Tinggal sisa satu malam untuk mencatat mimpi terakhirnya.

Tetapi, Agustinus terlalu lelah, termangu di singgasana.

Di tengah padang pasir. Saat malam merambat ke puncak.

Seorang fakir Badui tak sengaja melihat

sebuah cahaya melengkung

Jatuh ke tanah.

Di tengah laut, tiga ekor ikan paus

jamuran melihat kedua kali kejadian itu.

Lalu mereka teringat pada cerita induknya:

Tentang kehadiran Isa di bumi.

2005



BEIJING 1969


Setelah Kennedy dan Martin Luther King tewas,

Bob Dylan berkeyakinan, "Ini saatnya jaman berganti".

Mendengar itu, Mao membiarkan ratusan dahan tua meranggas

Hingga ribuan kelopak bunga berguguran.



BEIJING 2004


Lengan kanan Dewi Liberty tergilas gerigi besi.

Tetapi, obornya masih menyisakan kerlip di mata anak-anak

Yang sedang memamah Big Burger dan Milkshake di sebuah

taman kota.

2003-2004



SAJAK-SAJAK ENDANG SUPRIADI (NEGERI DEBU)

Puisi: Endang Supriadi


KABAR BAGI MAIDA 1


aku terluka ditempat gempa, maida

bukan oleh puing atau reruntuhan dinding

tapi oleh derita yang tertangkap mata

telah mencabik-cabik batinku. aku melihat

rumah rebah ke tanah. kota yang dulu cantik

kini telah jadi kota puing

di sepanjang jalan mata seakan dicucuk

duri ikan. kepedihan mereka menyusup ke dada. <

aku tak berpikir ini salah siapa. saut pun

berpuisi, "bencana alam bukan dosa!"

dari desa mancingan sampai ujung imogiri

aku tak melihat ada wajah ceria. semua

terlipat oleh duka. dan tak ada kesan meminta

belum lagi situs-situs yang sekan diperhangus

ya allah, selamatkan sejarah, dan tabahkan

hati mereka

aku terluka di tempat gempa, maida

bukan oleh rasa sakit di pipiku yang tergores

pisau milikmu, atau oleh tajam alismu yang

menancap di hatiku. tapi oleh tangan ini,

tangan yang masih ingin memberi dan membantu

namun terhenti dibatas oleh waktu.

Yogyakarta, 11 Juni 2006


NEGERI DEBU


duka sebegitu tajam tergores di langit ini

sayap kupu-kupu tak bisa membawa beban debu

juga sapu lidi terlalu pendek untuk menyapu

sehektar puing yang dititipkan gempa kepadamu

ini wilayah angin, bisik daun pada

sebutir debu. dan debu itu memang

tak pernah melihat onggokan bukit kapur di sana

kecuali rumah-rumah yang rebah

ditidurkan angin

sebatas mana rentang tanganmu ketika

gelombang memindahkan perahumu ke jalan raya?

atau ketika langit jadi hitam oleh gerhana

atau ketika sebuah menara bergeser karena gempa?

kita akan kembali ke dalam keabadian

melalui liku-liku dalam riset waktu

tak mudah kita menemukan ujung benang

dalam rajutan alam, tak mudah kita

memintal benang jadi gelas bagi air.

Yogyakarta-Jakarta, 12-13 Juni 2006


SAAT DI MANA KAU


saat di mana kau datangi kubur masa lalumu,

angin akan terasa pasir, gemuruh air akan terasa

petir. di setiap kota kau bilang aku bodoh

karena memasang tiang gantungan di mana-mana

itulah aku, sebuah tongkang yang lama tak berlabuh

sedang jiwa terlalu sesak oleh propaganda kehidupan

tujuh kali kau telepon aku tanpa suara. mana ada

tuhan menciptakan telinga hanya untuk mendengar

pintu yang ditutup. cuaca, adalah bahasa waktu yang tak

bisa kita raba. siapa dapat menterjemahkan kepak burung

yang seharian terbang dan tak turun ke dahan? semestinya,

kita tak menyentuh bulu miang bambu itu!

Jakarta, Maret 2006

Posting Komentar

0 Komentar

Ikuti

Tags

close