Judul
buku: Dari Buku ke Buku,
Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis: P. Swantoro
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia
Cetakan: I
Tahun
terbit: 2002
Jumlah
halaman: xxv + 435 halaman
Bagi Polycarpus Swantoro yang
ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku seolah-olah seperti berolah
yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja dalam waktu yang lama untuk
membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya puluhan kilogram, seperti
itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro. Bedanya, P. Swantoro tidak
melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan
judul buku yang sudah dibaca Pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari
Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini "hanya" 200 judul
buku yang ia "kisahkan".
Dengan cara yang menawan, ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru
pulang dari berkelana di negeri yang jauh, kemudian menceritakan peng-alamannya
kepada anak cucunya. Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah
mengherankan jika buku-buku yang ia kisahkan merupakan buku-buku babon yang tua
dan cukup langka. Misalnya, The History of Java karya Thomas S. Raffles yang terbit
tahun 1817, Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst karya N.J Krom yang terbit
tahun 1919, atau De Ijombok Kxpedie karya W Cool yang terbit tahun 1896.
Memang, di sana-sini, untuk keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan
cukup banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika
membahas topik PKI, misalnya, Pak Swan, sebenarnya, perlu menggunakan sumber
yang lebih memadai.
Tema yang diangkat pun beraneka ragam, mulai dari cerita tentang
lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis
di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya Gunung Merapi,
cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri
bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan
intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para pembaca "pemula", tema
yang tumpang-tindih tanpa sistematika yang jelas ini cukup merepotkan.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian
kemari. Kata demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika
membicarakan Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar
dituntut cermat untuk menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini.
Namun, jika kita bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita
dapat menemukan keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di bab
demi bab akan terjawab.
Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang
Budaya karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu,
yang merupakan syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan
bahwa buku Pak Swan menggunakan pola yang sama dengan buku Denys Lombard tidak
terbukti mengingat dalam menulis buku ini Pak Swan lebih mengandalkan
memorinya, seperti pengakuan Pak Swan sendiri dalam pengantar. Karena
mengandalkan memori, tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola
penceritaan lisan.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam.
Pembaca yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu
dengan membaca buku ini terlebih dahulu. Demikian pula para mahasiswa jurusan
sejarah. Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, di samping
membicarakan cara pandang para orientalis Barat, juga memberikan contoh
buku-buku yang memuat cara pandang Timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang
sebutan "Timur Tengah" untuk wilayah negara di jazirah Arab. Mengapa
orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai "Barat Dekat", misalnya?
Bukankah sebutan "Timur Tengah" adalah sebutan orang Barat yang
melihat jazirah Arab dari sudut pandang wilayahnya? Pandangan seperti ini
sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang tampaknya
semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan
jika Pak Swan menceritakan juga buku Orientalism karya Edward W. Said yang
terbit tahun 1979. Selain itu, sebaiknya, buku yang berisi sikap kita terhadap
tradisi Barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan
Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan. Hal lain yang belum dibahas
secara lengkap oleh Pak Swan sebagai seorang ahli sejarah dan pemerhati
kebudayaan Jawa adalah tentang historiografi Jawa. Prof. C.C. Berg, memang,
sempat dimunculkan dalam bagian Babad: Kitab Dongeng? Namun, sayang sekali,
karya C.C. Berg yang berjudul Oavaanche Geschiedschrijving, yang terbit di
Amsterdam tahun 1938, tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan
sejarah di Pulau Jawa menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari berbagai ketidaksempurnaan-nya, harus diakui bahwa buku
pertama seorang "yogi buku" ini merupakan karya yang memikat. Bahkan
cara dan gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan
sastra yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.
Sumber:
Majalah Matabaca, Agustus 2002 (dengan perubahan)
♥♥♥
Berikut ini adalah contoh resensi buku kumpulan cerpen
Monyet Ayu Menggiring Surealisme
Judul: Mereka Bilang, Saya
Monyet!
Pengarang: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun
terbit: 2004
Cetakan: Keenam. Mei 2004
Tebal
buku: xii, 137 halaman
“Sepanjang hidup, saya melihat manusia berkaki empat. Berbulu serigala, landak,
atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai. Namun, tetap saja
mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan
sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang
sopan. Dan mereka membaca buku–buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan
penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan, konon mereka mempunyai
hati.” (halaman 1)
“Saya memperhatikan bayangan diri saya dalam cermin dengan cermat. Saya
berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka, saya adalah seekor
binatang. Kata mereka, saya adalah monyet. Waktu mereka mengatakan itu pada
saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika seekor monyet maka saya
satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya
berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan
binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor
binatang. Hanya seekor monyet!” Reaktif, provokatif, bahkan subversif. Itulah
kesan pertama saya membaca kalimat-kalimat dalam salah satu cerpen Djenar Maesa
Ayu berjudul “Mereka Bilang, Saya Monyet!”.
Penggalan cerpen yang juga dimuat di sampul belakang antologi ini
menyuguhkan panorama baru, pengutaraan prosa yang berkecenderungan punya
“tegangan tinggi”.
Reaktif karena kebanyakan cerpen dalam buku yang memuat sebelas cerpen
ini merupakan tegangan-tegangan bahasa yang menuju pada simpul-simpul reaksi
atas berbagai “kesakitan” yang dialami (diminati) para tokoh. Reaksi ini bisa
dialami pengarang sebagai “pengalaman imajinatif”. Dialamijuga mengandung
pengertian mengetahui dan dapat dirasakan. Provokasi juga menjadi ujara
morfologi pada cerpan – cerpen Djenar. Secara sublim, ia sebenarnya
memprovokasi dirinya lewat tokoh –tokoh untuk menggugat berbagai
“ketidakbahagiaan hidup”. Saya tidak melihatnya sebagai laku feminisitas. Djenar
lebih sebagai moralis yang kadang puas dengan menelanjngi dirinya. Ucapan
“Mereka Bilang, Saya Monyet!” adalah provokasi bagi sang aku untuk menyadari
“kadar kemanusiaannya”. Sementara subversif dicapai dengan penceritaan yang
disampaikan secara tidak lazim, termasuk penggunaan bahasa.
Cerpenis kelahiran 14 januari 1973 yang sudah dikaruniai dua putri ini
termasuk cerpenis yang sudah membuktikan bakat dan kerja keras sebagai gabungan
sukses setelah unsur “sudah kehendak takdir”. Ia terbilang baru, tetapi punya
karya yang mencengangkan. Saya tidak tahu sejauh mana hubungan semiotik Djenar
Maesa Ayu dengan tiga sastrawan yang juga dianggap sebagai guru, yakni Sutardji
Calzoum Bachri, Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma. Djenar mempersembahkannya
untuk tiga sastrawan besar yang juga dikenal sebagai cerpenis itu. Namun, ini
juga merefleksikan benang merah prosa absurd hingga surealis yang menjadi dasar
kesastraan Djenar.
Kita kenal Sutadji punya sekumpulan cerpen, Hujan Menulis Ayam (Indonesia
Tera),yang jeli menggambarkan absurditas kehidupan.Kita menggali pribadi absurd
pada tokoh-tokoh karya Budi Darma,yang bahkan menjadi surealis, yang kemudian
dikembangkan secara jenius oleh Seno Gumira Ajidarma. Di titik Djenar seperti
menemukan jalan penempuhan yang seirama dengan mereka. Bahwa pengutaraan
lain,itu tentu soal cap kebahasaan dan kesastraan.
Dengan cara itu disimak bahwa Djenar melebih-lebihkan objek atau
peristiwa,seperti pada cerpen “Lintah”. Sang pencerita menceritakan
kebenciannya pada pacar ibunya yang ia lihat sebagai lintah, bahkan kadang bisa
membelah diri dan menjadi ular. Hiperbola itu juga digunakan pada “Mereka
Bilang, Saya Monyet!” yang melihat laki-laki jahat sebagai “berkepala buaya
berkaki kalajengking”, juga pada cerpen “Wong Asu” yang mempresentasikan relasi
manusia dengan anjing. Dalam benak seorang surealis, kenyataan memang bisa
selentur apa pun.Imajinasi memberi peluang untuk merebut realitas dijadikan
tahap realitas imajinatif yang hampir tiada batas. Realitas temuan hanya
menjadi sumbu peledak bagi realitas yang diungkapkan secara simbolis.
Pencapaian sastra didapat dari unsur daya kejut, refleksi, gaya ungkap, hingga
sublimasi.Makna dari tema dan pencapaian ikon/tanda yang secara semiotik diakui
kefasihannya, Djenar telah cukup memenuhi syarat itu.
Karyanya yang lain seperti”Durian” berkisah tentang dosa dan ketakutan
berlebih punya anak menderita kusta.”Melukis Jendela” berkisah tentang anak
tidak bahagia yang melakukan eskapisme (pelarian diri) dengan melukis dan
“Asmoro” tentang pengarang yang jatuh cinta pada tokoh fiksi ciptaannya. Kisah
ini diungkapkan Djenar dengan cukup cerdas. Dalam penggunaan bahasa, ia
terlihat fasih dengan ucapan yang lugas dan tegas. Bahasanya padat dan kuat
sehingga mampu menohok setiap ihwal yang dijadikan objek tematik. Cerpen “Waktu
Nyala”, misalnya, merupakan cerpen yang mengalirkan kekuatan berbahasa yang
dikuasai Djenar dalam berkisah untuk menyihir pembaca. Uraiannya seperti.”Entah
kapan persisnya Nayla tidak bersahabat dengan waktu.Waktu bagaikan seorang
pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap
menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang pernah ia lupakan
rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan
abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan
sebilah belati,” menunjukkan kelancaran berbahasa dengan efektivitas diksi yang
terjaga.
Ihwal peristiwa bahasa itu, ia juga menggunakan dalam cerpen “SMS”.Bahasa
yang dipakai layaknya kiriman pesan lewat SMS di handphone. Di situ kata-kata
minimal dan nomor-nomor atau angka digunakan sebagai kesatuan morfologis dalam
cerita. Meskipun cerpen ini kurang berhasil, ia menjadi kaya alternatif yang
menggunakan medium bahasa teknologi dalam pemaparan sebuah cerpen.”SMS” memang
bertema biasa dan juga kurang berhasil sebagaimana karya “Menepis Harapan”,
”Namanya …”serta “Manusia dan Dia”, yang lebih terasa sebagai cerpen dengan
tuturan bahasa kuat,mengalir, namun kehilangan roh tematik atau dalam beberapa
hal alur dan endingnya mudah diduga. Mungkin ini berkaitan dengan jam terbang
Djenar Maesa Ayu yang baru. Sebagai pendatang baru dalam dunia prosa Indonesia,
Djenar sudah menjadi young divas setelah Ayu Utami dan Dinar Rahayu. Ia juga
seorang surealis andal setelah Joni Ariadinata dan Agus Noor.(Eriyadi Budiman)
♥♥♥
Berikut ini adalah contoh resensi novel
Resensi Boulevard de Clichy - Agonia Cinta Monyet
Judul: Boulevard de
Clichy-Agonia Cinta Monyet
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tanggal
terbit: Maret – 2007
Jumlah
halaman: 400 halaman
Kategori: Novel
Campur tangan ibu Budiman dengan bantuan opo-opo (guna-guna) membuat
budiman lupa akan perbuatannya terhadap Nunuk, bahkan melupakan Nunuk, gadis
yang dicintainya. Sebagai anak orang kaya, Budiman melanjutkan sekolah di
Perancis, tetap dengan gaya anak pejabat yang lebih suka menghabis-habiskan
uang daripada menggali ilmu pengetahuan yang bisa diperolehnya di sana.
Sementara Nunuk yang punya keluarga di Belanda diceritakan memutuskan
untuk membawa anaknya yang baru lahir dan tinggal bersama keluarga ibunya di
Belanda, melanjutkan sekolah di sana. Pertemuannya dengan seorang pencari bakat
turunan Turki membawanya berkelana mencari pengalaman baru di Paris, Perancis.
Kisah yang juga sama dengan pencari TKW yang mengajak perempuan desa ke kota,
ataupun ke luar negeri dengan janji pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik.
Jalan cerita selanjutnya tidak terlalu sulit untuk ditebak. Kepintaran
Nunuk membawanya menjadi bintang di Boulevard de Clichy dengan julukan Météore
de Java. Tutur cerita yang secara detil menggambarkan situasi Boulevard de
Clichy, maupun gambaran detil perilaku pelakon cerita serta perasaan-perasaan
mereka, menjadi daya tarik utama dari novel-novel karangan Remy Sylado.
Sayangnya, akhir cerita yang terkesan terburu-buru dan terlalu dipaksakan
membuat kekuatan cerita menjadi berkurang. Cerita Budiman dan Nunuk yang
kembali lagi ke tanah air dan bertemu kembali setelah terpisah selama 5 tahun
ternyata tidak dikisahkan sedetil dan seindah novel di bagian awal. Akhir
cerita lebih berwarna "fairy tale", seperti kisah putri upik abu yang
disunting pangeran kaya-raya.
Memang ini bukan kisah seribu satu malam, atau HC Andersen yang selalu
mengatakan bahwa kejujuran dan kebaikan akan selalu menang dan juga bahwa
kemenangan dan kemuliaan bersumber dari usaha kerja keras dan penuh
pengorbanan. Oleh karena itu, sah-sah saja kalau jalan ceritanya menjadi
demikian.
Membaca bagian akhir buku ini tidak lebih dari sekadar ingin menuntaskan
suatu pekerjaan yang sudah terlanjur dimulai, disertai harapan mudah-mudahan
novel Remy Sylado berikutnya dapat lebih hidup dan mengasyikkan sampai dengan
akhir cerita.
0 Komentar